Jumat, 06 Mei 2016

Cerpen- Sepucuk Surat Untuk Ayah


SEPUCUK SURAT UNTUK AYAH
by Fitri Haryani Nasution
“Untuk ayahku di alam keabadian…
Maafkan Rara yang tak pernah membuatmu bahagia.Aku tak pernah bisa membuatmu tersenyum.Membuatmu bangga akan aku anakmu satu-satunya. Aku selalu menyusahkanmu.Membuatmu meneteskan airmata dan mengoreskan perih dihatimu.Aku tidak tahu bagaimana menuliskan kata-kata maafku padamu.Tak ada kata yang bisa kutulis.selain hanya penyesalan dan permohonan maafku. Semoga ayah tenang disana.Aku mencintai ayah lebih dari ayah mencintaiku.Akan selalu kujaga mata ini ayah ..maafkan aku yang terlambat menyadarinya”
Anakmu Rara, yang selalu merindukanmu…
            Rara menuliskan sebuah surat kecil dan melipatnya menjadi bentuk perahu. Ia berdiri dan membuka pintu kamarnya. Menuju kedepan pintu keluar yang membawanya menjauh dari rumahnya.Tetes hujan mengalir deras membasahi seluruh tubuhnya.Ia tak peduli, ia tetap berjalan dan melihat kedepan. Dengan mata sembap dan merah.Air mata yang membasahi pipinya bercampur dengan air hujan yang mengguyurnya. Sesekali ia sesenggukan akibat tangisnya.
            Sampai didepan sebuah sungai ia berjongkok. Menghirup napas dalam.Deras hujan membuat angin juga kencang.Ia menggigil kedinginan.Menggengggam erat perahu kertas ditangannya. Lalu dengan air mata yang terus mengalir ia menjatuhkan kertasnya. Kertas berbentuk perahu itu menjauh dari pandangannya.Terbawa arus sungai yang semakin deras karena air juga meluap akibat hujan. Rara menyeka matanya, terus melihat ke perahu itu sampai ia hilang diterjang air. Lalu Rara kembali berdiri. Dengan langkah gontai ia kembali kerumahnya sambil tertunduk dan tetap menangis.
            “Ya Allah..sampaikan surat kecil itu..”
***
            Fajar kembali menyingsing.Suara adzan subuh berkumandang keras.Ayah Rara terbangun dan membangunkan ibu Rara.Mereka sholat berdua.Sedangkan Rara masih terus berada dikamarnya. Ibunya telah membangunkannya berkali-kali, tapi ia tetap tak mau bangun. Ia terus mendengkur ditempat tidurnya. Baru setelah Rara mencium bau enak dari dapur ia langsung melonjak bangun dan kekamar mandi. Membersihkan dirinya lalu pergi kemeja makan berniat untuk makan.Habis itu pergi sekolah.Itulah kebiasaan Rara setiap harinya.
            “Bu, masak apa?” Tanya Rara melihat ibunya yang masih sibuk menggoreng
            “Telor ceplok. Kamu kalau dibangunin pagi untuk sholat tak pernah mau, tapi kalau menanyakan sarapan setiap pagi tak pernah lupa..” singgung ibunya. Rara menarik kursi dan duduk disana. Sambil mencomot satu tempe dari piring dan memakannya Rara menjawab pertanyaan ibunya.
            “Aduh bu. Orang ibu banguninnya jam lima subuh. Mana bisa Rara bangun!” kilahnya.
            “Lain waktu pasti Rara bangun kok bu. Mungkin semalam Rara kecapean belajar. Jadi lama tidur dan nggak bisa bangun cepat..” sebuah suara berat muncul dari balik pintu. Ayah Rara telah berdiri disana.Masih memakai baju koko putih dan kain sarungnya.Ayah Rara baru habis mengaji dikamar. Mendengar Rara sudah berada didapuria mengakhiri mengajinya.
            Rara yang melihat ayahnya datang langsung bermuka masam.Rara tidak suka pada ayahnya.Apalagi melihat ayahnya selalu dengan tongkat kecilnya itu setiap berjalan.Ayah Rara buta sejak Rara kecil.Rara tidak pernah menyukai ayahnya. Gara-gara ayahnya buta ia jadi sering diejek oleh temannya. Rara sangat jarang berkomunikasi dengan ayahnya.Ia selalu berusaha menghindarinya. Dan pagi ini, mendengar suara ayahnya yang ikut-ikutan bicara ia langsung bad mood.
            “Bagaimana anak ayah pagi ini? Apa sudah mandi..pasti sudah kan.. tercium harum dari jauh..” ayah Rara kembali bicara. Ia meraba-raba dengan tongkatnya. Berusaha mencari bangku untuk duduk.Rara tidak menjawab pertanyaan ayahnya.Membantu ayahnya untuk duduk pun tidak.Ia hanya melihat kedepan dengan wajah dongkol.
            “Rara jawab ayahmu dong.Kamu jangan diam saja.”Ucap ibunya.Rara menggaruk-garuk kepalanya. Dalam hatinya ia ingin berkata “malas”. Tapi ia menahannya.
            “Masih lama masaknya bu?” Tanya Rara.
            “Masih.Buatkan dulu minum ayahmu baru ini mau masak” jawab ibunya dongkol melihat tingkah Rara.
            “Malas” akhirnya kata itu keluar dari mulut Rara.
            “Astagfirulloh..Membuatkan minum untuk ayahmu saja kamu malas!”
            “Buat apa? Minumku aja belum ada” jawab Rara judes.
            “Hush! Berhenti membantah Rara! Itu ayahmu! Kau sama sekali tak pernah hormat pada ayahmu!” ucap ibunya keras.
            “Siapa suruh ayah buta!Membuatkan minumnya saja tidak bisa” Rara menjawab sambil memalingkan mukanya.
            “Ya Robbi. Kamu keterlaluan Rara! Jaga kata-katamu!” ibu Rara marah.Ayah Rara hanya diam. Mencoba memaklumi sikap anaknya. Bukan sekali ini saja dia mendengar Rara protes akan kebutaannya. Tapi ia sudah sering mendengar Rara mengejeknya dan ia sudah menyabarkan dirinya untuk hal itu.
            “Sudahlah bu, masih sepagi ini jangan berkelahi. Rara.. Ayah memang buta. Tapi ayah tetap ayah kamu..” ucap ayah Rara.
            “Terserah.Aku tak peduli” ucap Rara.Ia mengambil tasnya dan bergegas pergi kesekolah. Tanpa sarapan dan tanpa pamit lagi.Ia sudah sangat jengkel.
***
            Rara berlari cepat menuju rumah sakit.Setelah gurunya memberitahukan padanya bahwa gas dirumah mereka meledak.Ibu dan ayahnya dilarikan kerumah sakit.Jantungnya berdetak tak karuan.
Ia sampai dirumah sakit dengan napas tergesa. Ia memasuki ruangan tempat ibu dan ayahnya dirawat. Kakinya lemas saat melihat ibunya diselimuti perban yang sangat banyak melilit kepala dan tubuhnya.Ayahnya tidur disamping tempat tidur ibunya.Tapi jantung Rara serasa berhenti.Karena ayahnya telah diselimuti kain putih sampai keatasnya.Hanya kepalanya saja yang nampak dengan mata yang tertutup.Ia sudah menangkap hal yang ganjil dari pemandangan ini.Ia menutup mulutnya dan terisak.
            Tiba-tiba sebuah telapak tangan menangkup dibahunya.
            “Kau harus sabar.Kau harus kuat” ucap pemilik tangan itu.Rara melihat kepadanya.
            “Apa yang terjadi pada mereka berdua dok? Mereka tak apa-apa kan?” desak Rara.Matanya berlinang.
            “Ibumu mengalami luka bakar parah. Sekitar tujuh puluh persen tubuhnya terbakar..” ucap sang dokter. Rara menggeleng-gelenggkan kepalanya.Ia sangat terkejut dengan kejadian ini.Ia lirik ibunya yang terlentang tak berdaya. Air mata mengalir membasahi kedua pipinya yang putih.Lalu matanya melirik ke ranjang disebelah ibunya. Ayahnya! Bagaimana dengan ayahnya?Rara tak bisa memungkiri hatinya yang bergejolak melihat ayahnya dibungkus kain putih seperti itu. Sebenci apapun dia pada ayahnya, tapi ia tak pernah mengharapkan ayahnya dibungkus kain putih itu. Tiba-tiba ia merasakan hatinya seperti tertusuk pisau. Melihat ayahnya dengan kondisi seperti itu.
            “Kami tak bisa menyelamatkan ayahmu..lukanya terlalu parah sehingga ia tak bisa bertahan. Kau harus ikhlas menjalani semua ini. Kuatkan dirimu nak..” dokter itu kembali berucap. Dan Rara tersentak dengan kalimatnya.
            “Ayah telah meninggal….” Rara berbisik pada dirinya.Ia lalu menjerit dan menangis histeris.Semua kelakuan buruknya pada ayahnya terlintas dibenaknya.Semua seolah diputar ulang diotaknya.Dan terakhir kali melihat ekspresi wajah ayahnya yang lembut dimeja makan tadi pagi.Rara tak sanggup berdiri.Seluruh dunia terasa mengantamnya.
***
            Hujan deras mengguyur.Sudah tiga hari setelah kematian ayah Rara.Rara sangat sedih. Ibunya baru tadi siang dibolehkan pulang kerumah  dan masih dengan banyak perban. Rara menatap kejendela kamarnya yang terbuka.Percikan air hujan mengenai wajahnya.Ia menghirup udara hujan dan berusaha menenangkan pikirannya.Ketika tiba-tiba ibunya masuk dan memanggilnya.Ia tersadar dan segera menghampiri ibunya yang dikursi roda.
            “Ibu, ada apa? Ibukan masih sakit. Kenapa ibu tidak istirahat saja..” ucap Rara. Ibunya lalu memberikan sebuah surat kecil dan Rara mengambilnya. Tanpa berkata apa-apa Rara dengan rasa penasarannya membuka surat itu.
“Untuk Rara anak ayah satu-satunya.Dulu selagi kamu masih kecil ayah sangat bahagia. Melihatmu tersenyum..tertawa ..dan kita selalu bermain-main. Bersama ibu..dan ayah kamu selalu bahagia. Tapi semua itu berakhir saat kau mengalami kecelakaan yang menyebabkanmu kehilangan penglihatanmu.Kau juga tidak mengingat apapun.Waktu itu umurmu masih dua tahun.Kau menjadi pendiam dan selalu murung.Saat itu kami sangat menderita melihat keadaanmu. Kata dokter, kamu tidak akan bisa melihat lagi seumur hidup. Ayah dan ibu sangat syok dan sedih mendapati kenyataan itu.
Lalu akhirnya ayah memutuskan untuk memberikan mata ayah padamu.Agar kamu bisa melihat kembali dan bisa tersenyum. Ayah sangat senang melihatmu tertawa kembali. Kebahagian ayah hanyalah melihatmu bahagia.
Maafkan ayah Rara yang tak pernah memberitahukan hal ini kepadamu. Ayah tak mau kau merasa terbebani dengan kenyataan ini selagi ayah masih hidup. Jadi ayah putuskan untuk tidak pernah memberitahumu.Sekarang kau sudah tahu kenyataannya.Tolong rawat dan jaga baik-baik mata ayah.Dan selalu tersenyumlah.  Ayah akan selalu mencintaimu. Tersenyumlah untuk ayah dan berjanjilah untuk selalu bahagia…”
Dari Ayah yang selalu menyayangimu..
            Rara menangis. Air hujan terus mengguyurnya.Ia berharap semua dosa yang pernah ia lakukan selama ini terhadap ayahnya dapat terbawa oleh setiap tetes hujan yang mengguyurnya…
“Tak ada orang yang lebih mencintai kita selain dari keluarga kita sendiri
Jangan sia-siakan orangtuamu. Seburuk apapun mereka..
Selagi mereka masih bernapas dan kau masih bisa melihat mereka
Bahagiakanlah mereka…”

 ^_^ this story has been the 1st winner in lomba cipta cerpen festival muharram 2013, in fisip usu, north sumatera.
          



Tidak ada komentar:

Posting Komentar