Selasa, 21 Februari 2017

Welcome
This story I present to my father that have been passed away since 2009. He is a very great father and I love him forever and ever. I will meet him again one day, in paradise. Im sure, he is happy there. I miss you papa...
It success to be one of contributor in short story theme "father".


SAAT KEHILANGAN AYAH
            Langit begitu cerah saat itu, udara juga terasa panas. Ayah datang dengan keringat di seluruh tubuhnya. Ia baru saja selesai memperbaiki mobil kampas besar yang digunakannya sehari-hari untuk mencari nafkah. Yah, ayah bekerja sebagai seorang salesman, yang menjual kebutuhan-kebutuhan domestik secara grosir di kampung-kampung. Biasanya ayah membeli barang di kota dan mendistribusikannya ke desa-desa. Dulu, ayah bekerja dengan seorang peranakan Cina. Namun sekarang, ayah lebih mandiri. Berkat kerja keras dan perjuangan ayah, ia bisa menjalankan usahanya sendiri dan mencukupi kebutuhan keluarga.           Ayah pun duduk dan beristirahat di warung kecil kami. Kami punya warung kecil didepan sekolah, seperti kantin. Karena kami sudah mulai besar, ayah menyuruh ibu berjualan. Lagian ibu juga bosan berada di rumah seharian. Ayah lalu menghampiri ibu dan membantu ibu melayani pembeli yang cukup banyak saat itu hingga ibu kewalahan.
            “Kenapa kau membantuku?Kau kan baru habis bekerja, kau pasti kecapekan” tanya ibu pada ayah.          
            “Aku tidak ingin melihatmu kelelahan.” kata ayah. Ibu pun tersenyum. Ibu sangat beruntung memiliki ayah. Ayah adalah orang yang paling baik didunia ini.
            Suatu malam, saat kami semua berkumpul bersama, ayah menceritakan pada kami sebuah kisah tentang telur cicak di kecap asin.
            “Dulu, waktu ayah kecil ayah pernah makan kecap asin yang karena sudah lamanya, telur cicak pun bersarang disana. Keluarga ayah dulu sangat miskin, kami bahkan sering makan hanya dengan nasi dan kecap asin. Jadi ayah tidak mau kalian merasakan apa yang ayah rasakan. Ayah akan bekerja keras untuk kalian.” kata ayah dengan matanya yang bersinar.Ia melihat kami satu persatu. Saat itu aku bahkan tidak tahu bahwa sinar mata itu adalah untuk yang terakhir kalinya. Ayah memang seorang pekerja keras. Sedari tamat Sekolah Dasar ayah tidak lagi sekolah dan memilih untuk bekerja. Padahal, ayah anak yang pintar. Ayah juga sebenarnya dapat beasiswa untuk masuk SMP Favorit saat itu, tapi ayah yang baik memikirkan saudaranya yang banyak. Ia lebih memilih untuk bekerja saja demi memenuhi kebutuhan keluarga, ia tidak ingin adik-adiknya hidup lebih menderita. Lama-kelamaan ayah menjadi tulang punggung keluarga walaupun ia masih anak-anak. Dan itu terus berlanjut hingga ayah dewasa dan menikah dengan ibu. Kami semua pun lahir, aku beserta dua kakakku dan satu adik laki-lakiku yang tampan. Kami semua ada empat.
            Aku masih duduk di kelas dua SMP saat itu ketika ibuku datang ke sekolah dan menangis di kantor. Seorang guru bahasa inggris yang dekat denganku ditugaskan untuk memanggilku ke kelas.
            “Fitri ambil tasmu dan ikuti bapak ke kantor.” katanya. Aku yang saat itu sedang gembiranya bermain dengan temanku merasa cukup jengkel, kenapa aku disuruh pergi ke kantor. Namun, kuturuti saja perkataan guruku dan aku mengikutinya. Aku sama sekali tidak punya firasat buruk. Ketika aku dekat dengan kantor, sebuah suara isak dan tangis kudengar. Hatiku mulai gaduh, siapa yang menangis? Apa yang terjadi? Aku pun mempercepat langkahku. Kulihat ibuku sedang menangis didepan semua guru-guruku. Dan ketika melihatku ia semakin menangis keras.
            “Fitri, sekarang juga kita harus pergi melihat ayahmu. Udakmu (dalam bahasa Mandailing artinya adik dari ayah) menelepon dan bilang kalau ayah tidak sadarkan diri, dan ia berada di rumah sakit Panyabungan sekarang. Kita harus pergi.” kata ibu. Aku terkejut, syock, atau mungkin speechless. Aku tidak bisa berkata apa-apa, tapi aku merasakan seperti sebuah petir menyambarku. Jantungku berdebar kencang, apa yang terjadi pada ayahku? Aku melihat mata ibu yang merah penuh air mata yang mendesak. Aku memang tidak menangis, tapi aku bahkan tidak sadar saat ibu menarik lenganku dan kami langsung menaiki mobil dan berangkat ke Panyabungan. Jarak dari kota kami ke rumah sakit tempat ayah dirawat sekitar dua jam. Namun selama perjalanan, aku bahkan tidak merasakan diriku berada di mobil, aku seperti melayang. Pikiranku entah kemana. Yang aku ingat adalah aku terus berdoa. Melihat kedepan dengan pandangan nanar, dan terus menerus merapal doa. Aku ingin tidak terjadi apa-apa pada ayahku. Tuhan, jangan lakukan apapun pada ayahku.
            Tiba dirumah sakit, udakku dengan tangis dan jeritan histeris menyambut kami. Ia memeluk tubuh kami satu persatu.
            “Aku akan menjadi ayah kalian. Aku yang akan menjadi ayah kalian.” katanya. Aku semakin syock. Apa yang terjadi? Aku bahkan belum melihat dimana ayahku. Seorang perawat lalu membimbing langkah kami untuk menuju ke sebuah ruangan. Ruangan itu penuh bau alkohol dan bau obat. Seseorang yang sangat kukenal terbaring disana. Dengan kedua tangannya di lipat dan mata yang tertutup. Bibirnya kaku dan biru, dan selembar kain putih menyelimuti seluruh tubuhnya hingga ke dada. Aku tahu itu ayahku, apa yang mereka lakukan pada ayahku?
            “Bersabarlah. Beliau sudah tidak ada. Kalian harus tabah. Ucapkanlah kata terakhir untuknya, mungkin ia masih bisa mendengarnya.” kata seorang dokter. Aku yang serasa tersambar petir semakin merasa syock. Tidak. Aku tidak percaya. Ibuku menangis dan memeluk juga mencium ayahku. Kedua kakakku pun menangis, adikku yang masih kecil hanya bisa melongo, ia masih belum mengerti drama apa yang terjadi diruangan ini. Namun aku? Aku tidak menangis, tidak pula memeluk dan mencium ayahku. Aku berlari ke musholla dan segera sholat. Aku berdoa dan berharap agar semua ini hanyalah sandiwara, semua ini tidak nyata, dan bahkan ini hanya mimpi. Ketika aku kembali nanti aku percaya kalau ayahku akan hidup kembali, bukankah kalau kita berdoa pada Allah maka Ia akan mengabulkannya? Aku pun kembali keruangan namun jasad ayahku tetap berada disana. Matanya tetap tertutup dan tubuhnya semakin dingin. Saat itu aku baru sadar, tangisku pecah, aku gemetar. Lalu tak kurasakan apa-apa lagi. Aku seperti terhempas ke sebuah lautan yang luas, udara seakan menguap dan aku tidak bisa bernapas. Namun ayahku, tidak pernah kembali lagi.
            Hari, bulan, dan tahun pun berlalu. Kami menjalani hidup tanpa ayah. Tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga beralih pada ibu. Namun, ibu tidak setegar yang kami inginkan. Ibu menikah dengan seorang laki-laki di tahun ketiga jandanya. Kami tidak setuju, namun apa boleh buat, ibu mengambil jalannya sendiri. Dan aku?
            Dulu aku adalah seorang yang tidak pernah juara dikelas. Entah kenapa, setelah kepergian ayah aku menjadi cewek pendiam. Aku lebih suka menyendiri dan mengurung diri di kelas. Saat istirahat aku pun tidak bergabung dengan teman-temanku. Waktuku pun kuhabiskan untuk menyendiri, dan disela kesendirianku itu aku lebih suka belajar. Prestasiku meningkat drastis, aku pun mendapat juara kelas. Tidak hanya itu, aku juga mengikuti beberapa perlombaan bahasa inggris dan juga cerdas cermat. Aku sering menjuarai lomba dan masuk ke perguruan tinggi negeri yang aku inginkan. Di perguruan tinggi prestasiku semakin gemilang, aku bahkan menjadi Mahasiswa Berprestasi di Fakultas, juga menjuarai debat mahasiswa, lomba cipta, cerpen, surveyor, peraih empat kali beasiswa berturut-turut, penulis novel, penggiat bahasa inggris, dan yang lainnya.
            “Juara 1 mahasiswa berprestasi tahun ini adalah Fitri Haryani Nasution!” suara itu menggema diruangan dan semua orang bertepuk tangan.Aku melihat semua mata yang bersinar disana melihatku dengan tatapan bangga. Saat itu juga aku teringat pada sinar mata ayahku. Tidak ada yang seindah sinar ayahku. Aku berusaha menahan airmataku yang tiba-tiba mendesak keluar. Aku melihat langit biru, dan menatap keatas. Aku percaya dimanapun ayah berada, ia juga pasti sedang menatapku dengan sinar matanya yang indah. Semua orang terus mengelukan namaku.
            Namun dibalik semua itu, aku sering merasa kesepian. Entah kenapa perasaan setelah kehilangan ayah tetap saja membekas di hatiku. Sering aku menangis disela kesendirianku dan berpikir tentang apa yang sebenarnya kuinginkan. Aku pun menggunakan waktuku untuk menulis, jika aku merasa sepi dan sedih aku lebih baik menulis dan mencurahkan perasaanku. Aku lebih suka berbicara dalam cerita daripada berbicara dengan teman-temanku. Aku hanya tidak ingin orang sekitarku melihatku lemah, dan hanya tulisanku yang tahu selemah apa diriku. Mungkin orang-orang diluar sana melihat aku sebagai perempuan pejuang, perempuan pintar dengan bakatnya yang mengagumkan. Tapi, di sisi yang berbeda, aku hanyalah perempuan lemah yang merasa kesepian. Perasaan ini terus berlanjut saat setelah kehilangan ayah. Aku belajar suatu hal.
            “Orang datang dan pergi tanpa bisa diperkirakan. Pertemuan selalu berakhir dengan perpisahan. Aku bahkan takut untuk jatuh cinta, karena aku tak cukup kuat untuk menahan sakit yang kurasakan setelah cinta itu pergi. Kapan semua ini akan berakhir? Kapan seseorang itu tidak lagi meninggalkanmu? Aku sadar, orang akan terus datang dan pergi dalam kehidupan yang fana ini. Hingga kau sendiri yang pergi selamanya meninggalkan mereka. Dan saat itu kau tidak akan tersakiti, tapi merekalah yang akan menangis karenamu.”
            Aku mencintaimu selalu ayah. Aku berjanji akan melakukan yang terbaik dalam hidupku. Dan suatu hari nanti, ketika aku sudah lelah dengan orang-orang yang selalu meninggalkanku seperti dirimu, maka aku akan meninggalkan mereka. Dan berharap bisa kembali bersamamu. 

Sabtu, 21 Januari 2017

Welcome
Its one of my favourite story. I write it from my factual life.
Writer: Fitri Haryani Nasution
Sabtu, 21/01/2017

WARNAMU ABU-ABU
            Aku tak pernah bisa menebak tentang siapa sebenarnya dirimu. Ada banyak sisi yang kau sembunyikan dariku, dan semua itu membuatku selalu penasaran denganmu. Terkadang kau tersenyum, terkadang menangis, terkadang diam, terkadang kuat, terkadang lemah,terkadang cinta, terkadang cuek, terkadang senyum, terkadang menghilang dan semuanya seperti bercampur aduk dalam dirimu. Aku tidak tahu kau orang baik atau jahat. Namun baik ataupun jahat itu adalah relative, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Namun, satu hal yang membuatku ingin selalu dekat denganmu. Karena kau seperti abu-abu, yang mewarnai hidupku yang merah. Kau datang disaat aku tidak membutuhkan siapapun dalam hidupku. Namun kau menawarkan cinta dan memberiku harapan yang tinggi. Aku yang sempurna tidak menginginkanmu. Aku seperti warna merah, pemberani, mandiri, dan tentu saja ceria. Namun semua sikap abu-abumu itu membuatku tertarik. Kini, aku rasa aku telah menjadi jingga. Hidupku penuh warna setelah aku memutuskan untuk bersamamu.
            “Apa warna yang kau sukai?” tanyaku saat kita duduk dibawah sebuah pohon rindang di atas bukit. Langit biru berarak cerah dan pemandangan alam hijau memenuhi mata kita. Aku ingin bersandar dibahumu saat itu, tapi aku tak berani.
            “Biru!” kau menjawab pasti.
            “Benarkah? Kenapa?” tanyaku kembali.
            “Karena aku suka langit yang biru.” jawabmu dengan simple. Dan kau berbalik memandangku, melihat mataku dengan dalam. Kau tersenyum, aku bisa melihat mata coklatmu yang bersinar. “Bagaimana denganmu?” tanyamu, membuatku terlonjak dari tatapanku padamu.
            “Mmm, aku suka merah!” jawabku cepat.
            “Kenapa?”
            “Karena aku suka keberanian, kekuatan, dan keceriaan. Kurasa merah melambangkan semua itu!” jawabku pasti.
            “Kau benar! Dan merah itu adalah dirimu!” ucapmu.
            “Terimakasih. Dan biru juga cocok untukmu. Kalem dan bersahabat.” jawabku. Aku tersenyum manis dihadapanmu, namun kurasa senyummu berubah.
            “Kau belum mengenal diriku.”
            “Siapa bilang aku tidak kenal? Kau adalah Mohan Rambe, seorang yang lembut, penyayang, dan perhatian.” ucapku dengan semangat. Kau lalu diam, dan melihat kedepan. Nampaknya kau kurang setuju dengan apa yang kukatakan.
            “Aku harap begitu..” ucapmu pelan. Sepelan semilir angin yang melewati kita berdua. Dan senja datang menghantarkan matahari yang turun ke peraduannya. Aku ingin bertanya kenapa kau bilang begitu, namun aku tak punya keberanian. Kita pun beranjak untuk pergi, dan pikiranku masih terus memikirkan maksud dari perkataanmu.
            Aku masih ingat saat kau pertama kali menembakku dan mengatakan perasaanmu bahwa kau mencintaiku. Saat itu kubilang aku sangat ragu dengan pacaran, aku mungkin lebih menginginkan pertemanan. Namun kau bersikeras untuk mencintaiku dan kegigihanmu membuatku memutuskan untuk mencoba mencintaimu. Kau datang dengan sekuntum mawar merah dan coklat yang dibungkus dengan indah. Dengan tatapan yang tajam dan mata coklat yang indah. Juga aroma citrus yang semerbak dari tubuhmu. Kau membuatku cukup terkesan dan merasa tersanjung. Semua perhatian yang kau berikan padaku, dan semua hal yang kau berikan membuatku luluh dan akhirnya memutuskan untuk mencintaimu. Kau begitu manis, kurasa saat itu warnamu adalah pink. Kau meneleponku setiap hari, menanyai kabarku setiap hari, mengunjungiku dan memberikan boneka lumba-lumba kesukaanku. Kau sangat manis, benar-benar seperti warna pink.
            Tapi waktu yang berlalu membuat semuanya berubah. Kau pun berubah dengan cepat, suatu hari kau berubah menjadi warna hitam pekat. Kau datang padaku dengan sisimu yang berbeda.
            “Tolong aku. Kurasa aku harus ke psikiater, aku mungkin mengalami gangguan jiwa. Aku punya masalah yang hebat dalam diriku.” katamu saat menghubungiku. Aneh, tidak ada hujan, tidak ada badai kau tiba-tiba berkata seperti ini sambil menangis. Aku pun terkejut dan tidak mengerti.
            “Ada apa denganmu? Aku tidak mengerti. Ceritalah yang jelas, kumohon.” jawabku.
            “Aku tidak bisa bercerita. Ini suatu hal yang sangat buruk, aku tidak bisa cerita. Ini adalah sesuatu yang menjijikkan, sebuah sisi gelap dalam diriku.” katamu. Aku semakin curiga dan penasaran.
            “Apa maksudmu? Tolong bicaralah, ceritakan padaku.”
            “Tidak. Kurasa aku harus ke psikiater. Sudahlah, ini semua sisi gelapku. Aku mungkin mengalami gangguan jiwa.” ucapmu, dan setelah itu telepon kau putus. Kau benar-benar aneh, warna pink dalam dirimu benar-benar berubah menjadi warna hitam bagiku.
            Setelah kejadian itu kau datang lagi kepadaku beberapa hari setelahnya. Namun kau datang dengan senyuman dan kebahagiaan. Kau datang dengan penampilan yang keren dan banyak ice cream bersamamu. Kau bilang kau rindu padaku dan kau kembali menjadi pink seperti biasanya. Aku sungguh tidak mengerti padamu, namun aku mencoba untuk tetap biasa saja karena kau sama sekali tidak mau menyinggung soal hitammu yang kemarin.
            Waktu berlalu, setelah kau kembali menjadi pink, kau bahkan menjadi merah.
            “Sayang, kita harus semangat meraih masa depan kita. Kita harus mendapat beasiswa dan melanjutkan S2 kita. Kau akan ke luar negeri sayang. Aku juga akan berusaha. Tapi kita harus menjaga kesehatan kita juga. Besok kita cek kesehatan yah. Oh iya, malam ini target kita main basket 1000 point kan. Kita harus mendapatkannya!” kau berucap penuh ambisi dan target. Kau telihat sangat bersemangat. Aku menamaimu merah sekarang, aku bahagia kita bisa menjadi sama-sama merah. Dan aku berharap akan terus seperti ini.
            Namun seperti kau bukan dirimu. Sudah kubilang kau punya banyak sisi yang tak bisa kumengerti. Beberapa hari kemudian kau tiba-tiba menghilang. Aku tidak bisa menghubungimu, nomormu tak aktif, dan semua pesan yang aku kirim ke akunmu tidak kunjung kau balas. Kau mendiamkanku, tanpa alasan dan konfirmasi yang jelas. Kau berhasil membuatku galau, dan membuatku bersedih karena memikirkanmu. Warna merahku berubah menjadi warna jingga. Semua aktivitasku serasa tidak berwarna lagi, karena aku selalu mencemaskan dan memikirkanmu. Ini salahmu, kau telah membuatku jatuh cinta padamu dengan warna pinkmu. Sekarang kau pergi dariku dan membuat warna merahku menjadi jingga. Aku ingin membencimu, namun aku tak bisa. Kau benar-benar menyebalkan.
            Aku terus menunggu. Hingga seminggu setelah itu kau kembali datang padaku. Kau bilang kau sakit dan tidak bisa menghubungiku. Aku mencoba untuk mengerti.
“Kau tahu kan sayang, jika kita sakit, kita tidak ingin berbuat apapun. Tolong maafkan aku” katamu.
“Namun kau bisa mengabariku, bukan menghilang seperti itu dan membuatku cemas. Kenapa kau tidak bilang padaku kalau kau sakit?” tanyaku.
“Aku tidak ingin kau khawatir.” ucapmu. Kau lalu meraih jemariku dan melihatku.
“Aku mencintaimu. Maafkan aku.” kau bilang. Hmm, kukira untuk yang ketiga kalinya kau menjadi pink kembali.
Hari-hari berlalu, aku pun menjalani masa yang indah denganmu. Kau menjadi pink dalam waktu yang lama. Kupikir sifat-sifat anehmu itu tak akan muncul lagi. Aku juga tidak ingin kau seperti skizofrenia dan mengubah warnamu lagi. Aku lebih suka kau menjadi pink seperti ini. Namun, keinginanku tidak terkabul. Kau merubah warnamu kembali, tanpa aba-aba dan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Kau kembali menghilang, Kali ini lebih lama, nomormu memang tidak aktif. Namun semua pesan yang kulayangakan ke messengermu kau baca namun tak satupun yang kau balas. Aku kembali kecewa padamu. Kali ini kau bukan sekedar hitam, tapi kau adalah coklat. Membuatku mati rasa dan lelah dengan semuanya. Dan seperti de javu, dua minggu kemudian kau datang padaku dan meminta maaf dengan alasan yang sama. Katamu kau sakit lagi.
“Aneh, padahal aku bisa melihat kau online setiap hari namun kau bilang kau sakit. Kau di internet setiap hari namun kau sakit. Aku tidak percaya padamu.” ucapku. Kali ini aku lebih kuat dengan argumenku.
“Kumohon sayang, percayalah. Aku mencintaimu.” katamu lagi. Hmm, sekarang aku sudah kebal dengan kata-kata itu. Kau lalu kembali menjadi pink dan memberikan perhatianmu padaku. Sudahlah, kurasa aku sudah mati rasa.Aku tak bisa mengikutimu. Kau terlalu punya banyak warna, kau terlalu aneh dan misterius bagiku. Aku benar-benar tak bisa memahamimu. Aku tidak bisa mengerti tentangmu. Kurasa kau adalah abu-abu. Kau berubah-ubah dan aku sama sekali tidak merasa dekat denganmu, bahkan kau tidak membiarkanku untuk tahu siapa sebenarnya dirimu. Tidak sayang, warna yang kau sukai seharusnya bukanlah biru. Tapi abu-abu yang sesuai untukmu. Kini aku pun merenungkan apa katamu.
            “Kau belum mengenalku..” Yah, aku mungkin memang tidak akan pernah bisa mengenalmu.
***


Senin, 19 September 2016

Welcome
This is one of story as contributor in theme "I Love Me"
Writer Fitri Haryani Nasution


MENCINTAI HOTMAIDA
“Jika kita tidak mencintai diri sendiri, lalu bagaimana  orang lain bisa mencintai kita?”
            Hotmaida tahu bahwa dirinya punya banyak sekali kekurangan.Mulai dari bentuk tubuh, wajah, hingga otak yang pas-pasan.Pokoknya tidak ada yang spesial dalam dirinya. Tidak pintar, tidak cantik, tidak kaya, tidak ada bakat khusus, bahkan tidak  juga punya passion dan bayangan masa depan yang hebat. Hotmaida hanyalah seorang anak dari tukang bubur yang sekarang sedang bersekolah di SMA Negeri 1 Padangsidimpuan.Salah satu SMA yang dikenal dengan mayoritas murid yang pintar, kaya juga cantik maupun tampan. Sedangkan bagi Hotmaida, ia memilih sekolah ini bukan karena ia memiliki salah satu ciri diatas. Tapi, hanya karena rumahnya dekat dengan SMA Negeri 1 dan ia bisa jalan kaki ke sekolah tanpa harus mengeluarkan ongkos, jadi bisa lebih irit dan hemat setiap harinya. Hanya itu alasannya bersekolah disini.Namun, sekolah disini ternyata membuatnya merasa selalu terasing.Hotmaida akhirnya merasa jengah dengan keadaan ini. Dan tepat kenaikan kelas dua SMA, ia memilih untuk memgambil keputusan.
            “Mak, pak!Hotma ingin pindah!”
            “Pindah apa maksudmu?” jawab Bapak spontan
            “Pindah sekolah.Hotma nggak mau sekolah di situ lagi!” wajah Hotma merengut.Bibirnya mancung kedepan.
            “Lho, kenapa?” ibu yang sedang duduk disamping bapak turut berbicara.
            “Hotma nggak cocok dengan mereka semua buk!Mereka semua pintar, cantik, kaya lagi.Hotma tak punya itu semua.Hotma di kelas cuma jadi bahan ejekan saja.Tidak ada yang mau berteman dengan Hotma.”Mata Hotma memerah mengeluarkan semua isi hatinya yang dipendam selama ini. Hingga satu bulir air mata keluar dari sudut  bola matanya.
            “Tapi pindah itu butuh biaya Hotma.Kamu sudah menjalani setahun disana, bersabarlah sedikit lagi hingga kamu tamat.Kita tak punya uang untuk memindahkan kamu sekolah” ucap ayah.
            “Lalu, apa gunanya aku tetap sekolah disana jika aku hanya jadi bahan tertawaan? Juga seperti tidak dianggap..”Hotma meringis.
            “Hotma, tapi pindah tidak semudah itu” jawab ibu.
            “Kalian tidak pernah mengerti! Kenapa aku harus dilahirkan di keluarga yang miskin ini?Kenapa aku tidak bisa cantik seperti mereka?Kenapa juga aku tidak pintar seperti mereka. Pokoknya aku tidak mau lagi sekolah disana! Aku benci diriku! Aku benci semuanya!”Hotma berbalik dan menuju kamarnya. Dan didalam kamar, ia sesenggukan menangis dan semakin membenci dirinya.
            Sudah seminggu Hotma meliburkan diri.Ia tidak mau pergi sekolah dan selalu mengurung diri di kamar. Hingga ibu dan ayahnya merasa terpukul dengan keadaan Hotma.Mereka sebenarnya merasa sakit hati dengan sikap Hotma.Tapi ayah yang bijaksana selalu memutar otak untuk mencari jalan menyadarkan Hotma.Hari ketujuh Hotma tidak sekolah, ayah datang dan membujuknya untuk yang kesekian kalinya.
            “Ayah tahu kamu sangat kecewa. Kecewa pada kami, pada keadaanmu, pada semuanya.Tapi jangan berlarut-larut dalam kesedihan Hotma.Lihatlah masih banyak kebahagiaan didunia.Bukan hanya sekedar cantik, pintar ataupun kaya.”
            “Sudahlah ayah sebaiknya diam. Ayah tak akan pernah tahu dan tak pernah mengerti” sanggah Hotma tanpa melihat wajah ayahnya.
            “Kalau begitu ikut ayah”
            “Malas. Hotma tidak ingin keluar”
            “Sekali ini saja dan ayah tidak akan pernah membujukmu lagi untuk sekolah disana.Bahkan kau bisa memilih untuk pindah dari sana”.Mendengar kata pindah, Hotma langsung melihat wajah ayahnya.
            “Kemana?” tanya Hotma lagi
            “Ikut saja dengan ayah.” Ayah tersenyum. Senyum yang sangat indah hingga Hotma merasa sedikit lebih tenang dengan senyum itu.
            “Baiklah”
            Ayah mengajak Hotma pergi jalan-jalan. Ayah membawa Hotma pergi ke mall dan mengajaknya makan disana. Hotma sangat senang, karena tidak pernah ayahnya mengajaknya makan di mall seperti saat ini.Hotma bahkan berpikir ayahnya sudah berubah dan ada satu hal yang terlintas dalam benaknya darimana ayahnya bisa punya uang untuk mengajaknya jalan-jalan dan makan.
            Selesai makan, mereka keluar dari mall dan menuju sebuah lapangan besar di belakang mall.Disana ada banyak sekali orang yang berkerumun dan menyaksikan pertunjukan musik yang dimainkan oleh seorang laki-laki seumuran Hotma.Namun ia cacat alias tidak memiliki kaki. Kulitnya coklat dan badannya kurus. Tapi, ia berhasil menjadi pusat perhatian karena alunan musiknya yang merdu. Banyak orang memberikan uang saat musik berhenti.Dan ketika orang sudah mulai sepi, ayah membawa Hotma untuk mendekat padanya.
            “Ini anak saya yang saya ceritakan kemarin..” kata ayah tiba-tiba. Hotmaida terkejut dan merasa heran. Ayah ternyata mengenal laki-laki cacat  pemain musik ini. Laki-laki itu tersenyum.
            “Kamu gadis yang cantik.Senang berkenalan denganmu Hotmaida.Nama saya Makdin.” ucapnya.Dan itu membuat Hotmaida sedikit bangga.Belum pernah ada orang yang memujinya cantik.Namun siapa laki-laki ini?
            “Ayah..”Hotmaida menyentuh lengan ayahnya dan menunjukkan ekspresi kebingungan.
            “Ucapkanlah terimakasih pada Makdin nak.Ia yang membiayai uang jalan-jalan dan juga makan kita hari ini. Uang itu darinya.”Hotmaida kaget.Apa maksud ayahnya? Ia mengernyitkan keningnya dan merasa tidak percaya. Bagaimana Makdin yang memberi ayahnya uang untuk jalan-jalan hari ini?
            “Hotmaida, kamu tidak usah bingung.Itu bukan apa-apa.Dan tanpa maksud apa-apa. Saya yang memaksa memberikan uang itu pada bapak saat bapak cerita sama saya tentang kamu. Saya hanya ingin berbagi, membuat orang lain merasa senang. Itu saja” Makdin menjawab dengan senyum.Hotmaida merasa terpukul.
            “Tapi untuk apa?”
            “Percayalah, bukan untuk apa-apa.Saya hanya senang melakukannya” jawab Makdin.
            “Lalu bagaimana ayah berpikir aku akan senang dengan ini semua?Kamu juga, kenapa memberi pada ayah.Kamu lebih membutuhkan.Kenapa kamu memberi uangmu pada ayah? Kamu tidak membuatku senang.” Ucap Hotma. Makdin sesaat diam. Ia memandang Hotma tepat ke manik mata. Ia melihat ada kekecewaan disana. Ia mendesah dan berucap.
            “Dulu, aku sangat membenci diriku. Ayah dan ibuku sudah meninggal. Aku tak punya uang, tubuhku cacat, dan aku tidak pernah sekolah.Semua orang menjauh dariku bahkan menganggapku sampah masyarakat.Apalagi berharganya hidupku?Hingga aku pernah berpikir mengakhiri hidup.Aku sering menyakiti diriku.Tapi, akhirnya aku sadar.Bahwa masih ada kekuatan diatasku.Yang menghidupkanku.Aku percaya bahwa Tuhan masih bersamaku. Lalu aku mulai berpikir, jika aku tidak mencintai diriku maka bagaimana bisa orang lain juga mencintaiku? Aku mulai bangkit dan bermain musik.Aku melimpahkan semua perasaanku dalam setiap alunan musik yang kumainkan.Aku semakin semangat menjalani hidupku”.Makdin mengambil napas sejenak.Ekspresi keras Hotma mulai berubah.
Namun, sering juga aku masih merasa cemburu pada orang lain yang lebih dariku, yang kaya, punya orangtua, tampan, dan punya segalanya.Mereka tampak sangat bahagia. Namun ketika kulihat ada pengemis yang meminta makan pada mereka, dan mereka malah menghindar aku malah melihat bahwa mereka tidak sebahagia yang aku kira.Masa untuk memberikan sedikit uang mereka saja kepada pengemis itu mereka tak bisa. Dan akhirnya, sejak saat itu aku berjanji akan membuat hidupku lebih bahagia dari mereka. Aku mungkin tidak tampan, tidak kaya, tidak pintar, namun aku masih bisa memberikan uangku pada orang lain. Dan itu lebih daripada sekedar kaya, cantik ataupun pintar.Aku juga tidak harus jadi pejabat, artis, atau pengusaha untuk bisa memberi.Aku cukup jadi diriku, seorang pemain musik cacat yang suka memberi.Hanya itu dan aku merasa lebih berharga.Dan buktinya, semakin banyak orang tiap harinya yang kutemui dan menjadi keluargaku.Setiap hari ada banyak orang yang semakin dekat denganku dan menerima keadaanku.Salah satunya Bapak yang sangat baik ini.Aku sudah menganggap bapak seperti ayahku sendiri” ucap Makdin.
Tak terasa mata Hotma langsung memerah.Air mata jatuh bergiliran di pipinya.Ia sesenggukan hingga ia memegang kuat tangan ayahnya. Apa yang telah kulakukan? Pikirnya.Ia merasa begitu bodoh didepan Makdin yang terlihat jauh lebih berkekurangan darinya. Ia bahkan merasa sangat bersalah pada dirinya karena telah merutuki dirinya selama ini. Ia harusnya lebih mencintai dirinya. Jika Makdin saja bisa, mengapa Hotma tidak bisa?Ia tergugu. Tidak bisa bicara.Hanya menangis dan memeluk erat ayahnya.
“Ayah maafkan aku. Aku special, dan harusnya aku tahu itu. Maafkan aku…”
*


Welcome
This is a romantic love story. Write at Saturday, 03/09/2016
Writer : Fitri Haryani Nasution

THANK YOU FOR LOVING ME
Selasa, 16 Agustus 2016, aku masih ingat hari spesial itu. Hari disaat kau menyatakan perasaanmu disebuah ruangan kerlap-kerlip yang indah. Sehari sebelum hari kemerdekaan Indonesia, aku merasa telah merdeka bersamamu. Memang tempatnya tidak seromantis yang kubayangkan. Hanya sebuah ruangan karaoke berukuran kurang lebih 3x4 meter, dengan desain dinding polos berwarna putih dan sebuah sofa empuk berwarna hitam. Didepannya terpampang besar layar berukuran 21 inci dan sound system lengkap dengan pengeras suara. Saat kau memesan tempat itu, kukira sesuatu yang berbeda akan terjadi padaku. Hidupku akan berubah, sejak aku melangkahkan kakiku ke tempat itu. Aku disambut dengan dunia yang berbeda.
            “Hai, Ini ayahku.” hal itu yang pertama kau ucapkan saat kita bertemu pertama kali berjumpa setelah sekian lama tak bertemu. Aku bahkan hampir tak mengenal wajahmu. Kita berkenalan didepan sumber saat itu. Kau bersama dengan Romi berjalan berdua dan aku menyapa Romi. Saat itu tak ada sedikitpun perasaanku padamu, aku bahkan menganggapmu sebagai lelaki yang kurang lembut karena kau selalu menarik Romi untuk menjauh dariku. Cepat, katamu padanya. Saat itu aku bahkan merasa kau lelaki yang tergesa-gesa. Aku cukup heran tatkala kau menginboxku dari messenger dan juga meminta pin ku. Kukira kau salah orang. Aku bahkan tidak menyangka kalau kau akan tertarik padaku. Kau bahkan berkali-kali meneleponku dan  mengucapkan bahwa kau rindu padaku,dan bahkan pernah mengatakan kau mencintaiku. Jujur, aku selalu berusaha untuk menganggap hal itu bercanda saat itu.
            “Lantai 2? Aku tidak tahu kalau tempat ini punya lantai 2.” ucapku. Aku mendongak melihat kesekeliling tempat sepi di lantai dua. Masih tempat karaoke, tapi kurasa tempat ini lebih bersifat privasi.
            “Kau takut?” ucapmu. Aku spontan menggeleng.
            “Tidak” ucapku. Dan terus terang aku tidak takut, hanya sedikit heran.
            “Asramaku tutup jam sepuluh malam.” ucapku. Kau memesan dua jam, sekarang jam tengah delapan, itu berarti akan berakhir tengah sepuluh malam. Namun kuharap bisa lebih cepat dari itu. Sekali lagi bukannya aku takut, tapi aku merasa kurang nyaman saat ini. Entah kenapa hatiku bergemuruh kecil.
            “All of me!” kau langsung memutar lagu itu. Lagu John Legend yang pernah kau kirimkan padaku lewat voice note dari bbm. Kau bilang itu lagu yang sangat indah dan romantis. Dan dalam benakku aku masih ingat saat pertama kali kudengar suaramu menyanyikannya benar-benar tidak romantis. Maafkan aku, tapi kau lebih seperti berteriak daripada bernyanyi. Tapi aku suka dengan nada suaramu yang bisa menghiburku saat itu. Aku mulai tertarik padamu.
            “Ed Sheeran, Thinking Out Loud!” Aku suka lagu itu. Sangat suka. Bagiku itu lebih romantis. Dan aku paling suka menggodamu dengan membayangkan arti dari lirik lagunya. Moment yang paling spesial ketika Ed Sheeran bersajak cium aku di bawah sinar seribu bintang. Dan aku menyuruhmu menghitung seribu bintang, tapi kau tak pernah melakukannya.
            Lagu demi lagu kita nyanyikan bersama. Kau perlu tahu, sebenarnya aku bukan perempuan yang sering pergi ke karaoke. Bahkan terhitung seberapa jarang aku pergi ke karaoke sejak aku nol tahun sampai dua puluh tahun saat ini. Dan aku yakin, suaraku sangat tidak bagus. Bukannya aku tidak suka karaoke, tapi jujur pikiranku dulu masih primitif. Mendengar kata karaoke seringkali aku berpikiran negatif. Tapi itu dulu, jauh sebelum aku mengenalmu dan duniaku sekarang.
            Aku terus melihat jam yang berdentang. Dan aku sangat heran melihatmu gelisah dan selalu keluar masuk ruangan. Kau bilang kau ke toilet, perutmu bermasalah katamu. Tapi aku benar-benar tidak nyaman. Kupikir kita lebih baik pulang saja dan kau obati sakit perutmu. Tapi kau bilang tidak apa-apa. Waktu terasa begitu cepat berlalu, hingga jam berdentang pukul sembilan malam. Dan kuhitung kau sudah tiga kali bolak-balik ke kamar mandi. Namun disaat terakhir, kau datang dengan sebuah bingkisan bunga mawar merah ditanganmu. Juga coklat yang terselip didalamnya. Aroma dari pohon citrus mencuat dari bunga indah yang terselip di jemarimu dan itu semakin membuatku gugup. Aku benar-benar terkejut. Namun tentu saja aku berusaha tenang. Jantungku mulai tak karuan, apa yang akan terjadi? Apa yang akan kau lakukan dengan bunga itu? Kau tidak memutar lagu apapun lagi. Kau biarkan keheningan merayap sebentar dan kau memperbaiki posisi dudukmu disampingku dan menatapku dalam.
            “Dear, kita sudah lama berkomunikasi, sudah hampir dua bulan aku dan dirimu saling mengenal.”
            “Ralat, hampir satu bulan, bukan dua bulan” sanggahku membuat suasana romantis sedikit mencair. Kau tertawa kecil, sedikit malu mungkin. Tapi aku sangat suka dengan tawa kecilmu, membuatku merasa lebih nyaman.
            “Baiklah, hampir satu bulan. Jujur, aku merasa sangat nyaman denganmu. Aku ingin kita menjadi lebih dekat. Maukah kau menjadi pacarku?” dan matamu bersinar. Secercah sinar harap yang sangat indah. Aku suka mata itu, saat kau menatapku seperti ini. Ruangan terasa semakin sempit bagiku, dan waktu berjalan sangat lambat sekarang. Udarapun serasa menguap. Kau berhasil membuatku merinding dengan tatapan sendu dan suaramu yang mengusik hatiku. Sesaat aku terdiam, mencoba menghirup udara sebanyak mungkin agar perasaanku bisa sedikit tenang. Namun jujur, hatiku tetap tak bisa tenang.
            “Tapi Mohan, kita baru saja berkenalan. Lalu apa bedanya teman dengan pacar? Bukankah menjadi teman itu lebih baik daripada pacar? Dan mungkin kau harus berpikir mengenai perasaanmu padaku, mungkin itu bukan cinta, mungkin itu hanya rasa kagum karena kau melihatku sebagai wanita yang bisa berbahasa inggris dan bisa menulis. Kau harus memastikan perasaanmu dulu. Cinta itu berbeda dengan rasa kagum.” ucapku. Aku menggigit bibir bawahku, dan detak jantungku berdegup lebih kencang. Aku berhasil mengatakannya dengan menyembunyikan pita suaraku yang bergetar. Semoga ia tidak menangkap kegugupanku dan tidak mendengar detak jantungku yang sensitif disampingnya.
            “Dear, aku tidak tahu bagaimana rasaku saat ini, aku tidak tahu cinta itu apa, tapi aku yakin dengan perasaanku. aku merasa sangat nyaman bersamamu. Sebenarnya aku ingin menyatakan perasaanku sejak pertama kali kita bertemu, tapi itu bukan saat yang tepat. Dan malam ini aku ingin mencoba mengatakan dari dalam hatiku bahwa aku mencintaimu.” dan kau menatapku dalam dan itu membuatku menelan ludah. Aku bahkan tak sanggup untuk membalas tatapanmu.
            “Jadi, haruskah kujawab sekarang?” tanyaku akhirnya memecah keheningan yang menyiksa.
            “Ya.” jawabmu dengan pasti.
            Aku diam. Mencoba memutar otak dan berpikir. Jujur, aku menyukaimu, semua tentangmu. Pribadimu, karaktermu, cara berpikirmu, kupikir kita punya banyak hal serupa dalam memandang beberapa hal yang sering kita diskusikan bersama. Dan tentu saja aku juga merasa nyaman denganmu. Tapi jika ini cinta kenapa aku harus berpikir untuk menerima semua ini. Tidak, mungkin aku berpikir terlalu banyak. Kau tidak tahu bagaimana aku dengan masa laluku. Aku benci laki-laki, sejak aku tahu mereka pembohong dan apalagi semenjak aku punya ayah tiri. Itu sebabnya hal yang paling aku benci laki-laki dan kebohongan.
            Aku kembali merasai debaran jantungku yang menyiksa. Detik waktu terasa berputar dan membuatku berpikir semakin dalam. Ini sudah hampir tengah sepuluh malam. Aku tidak ingin jadi Cinderella yang meninggalkan sepatunya karena ia hampir saja terlambat untuk meninggalkan istana. Tidak, maksudku aku hanya tidak ingin meninggalkan apapun disini, termasuk jawabanku untukmu. Aku mencoba membalas tatapan itu dan membiarkan hatiku menjawabnya. Kupikir sekarang logika tidak berarti. Perasaanku lebih berarti, dan perasaanku berkata bahwa aku juga mencintaimu dan merasa nyaman disampingmu.
            “Ya.” Aku mengangguk pasti. Kali ini benar-benar serius, aku tidak ingin membuat waktu terus berputar tanpa arti. Dan aku benar-benar memilih perasaanku. Pendar mata itu langsung berbinar.
            “Thank you dear.” Kau tersenyum padaku, kali ini senyum yang lebih indah. Cahaya matamu bersinar, kau terlihat sangat senang. Dan aku merasa lebih tenang sekarang, aku merasa lebih nyaman dan senang melihat kau bahagia dan menatapku seperti ini.
            “Ucapkan bahwa kau juga mencintaiku.” pintamu.
            “Aku juga mencintaimu. I love you too.” kalimat itu mengalir lembut dari pita suaraku. Ruangan kecil yang dingin ini tentu saja bisa mendengarku dan melihatmu matamu yang begitu indah.
            “Thank you for loving me” kau menyanyikan lagu itu. Lagu indah yang kau nyanyikan sendiri dengan perasaanmu dan aku tidak mengerti kenapa kau harus menangis saat menyanyikan lagu itu. Tapi yang mengejutkan kita berdua adalah saat kau akhirnya mendapat nilai 91 dengan lagu itu. Kau benar-benar menggunakan perasaanmu.
 Sisa malam benar-benar kita habiskan dengan perasaan baru antara diriku denganmu. Aku sekarang kekasihmu, sebuah rasa yang benar-benar tidak aku mengerti sampai saat ini. Mungkin aku mulai mengerti arti dari lirik Ed Sheeran, orang jatuh cinta dengan cara yang misterius. Aku tidak tahu bagaimana aku mencintaimu, aku juga tidak tahu bagaimana cara menunjukkan cintaku dan mungkin aku tidak seromantis harapanmu. Tapi yang aku tahu hanyalah aku merasa nyaman bersamamu. Aku mencintaimu. Dan aku tahu, aku mencintaimu.  

Jumat, 06 Mei 2016

Cerpen- Sepucuk Surat Untuk Ayah


SEPUCUK SURAT UNTUK AYAH
by Fitri Haryani Nasution
“Untuk ayahku di alam keabadian…
Maafkan Rara yang tak pernah membuatmu bahagia.Aku tak pernah bisa membuatmu tersenyum.Membuatmu bangga akan aku anakmu satu-satunya. Aku selalu menyusahkanmu.Membuatmu meneteskan airmata dan mengoreskan perih dihatimu.Aku tidak tahu bagaimana menuliskan kata-kata maafku padamu.Tak ada kata yang bisa kutulis.selain hanya penyesalan dan permohonan maafku. Semoga ayah tenang disana.Aku mencintai ayah lebih dari ayah mencintaiku.Akan selalu kujaga mata ini ayah ..maafkan aku yang terlambat menyadarinya”
Anakmu Rara, yang selalu merindukanmu…
            Rara menuliskan sebuah surat kecil dan melipatnya menjadi bentuk perahu. Ia berdiri dan membuka pintu kamarnya. Menuju kedepan pintu keluar yang membawanya menjauh dari rumahnya.Tetes hujan mengalir deras membasahi seluruh tubuhnya.Ia tak peduli, ia tetap berjalan dan melihat kedepan. Dengan mata sembap dan merah.Air mata yang membasahi pipinya bercampur dengan air hujan yang mengguyurnya. Sesekali ia sesenggukan akibat tangisnya.
            Sampai didepan sebuah sungai ia berjongkok. Menghirup napas dalam.Deras hujan membuat angin juga kencang.Ia menggigil kedinginan.Menggengggam erat perahu kertas ditangannya. Lalu dengan air mata yang terus mengalir ia menjatuhkan kertasnya. Kertas berbentuk perahu itu menjauh dari pandangannya.Terbawa arus sungai yang semakin deras karena air juga meluap akibat hujan. Rara menyeka matanya, terus melihat ke perahu itu sampai ia hilang diterjang air. Lalu Rara kembali berdiri. Dengan langkah gontai ia kembali kerumahnya sambil tertunduk dan tetap menangis.
            “Ya Allah..sampaikan surat kecil itu..”
***
            Fajar kembali menyingsing.Suara adzan subuh berkumandang keras.Ayah Rara terbangun dan membangunkan ibu Rara.Mereka sholat berdua.Sedangkan Rara masih terus berada dikamarnya. Ibunya telah membangunkannya berkali-kali, tapi ia tetap tak mau bangun. Ia terus mendengkur ditempat tidurnya. Baru setelah Rara mencium bau enak dari dapur ia langsung melonjak bangun dan kekamar mandi. Membersihkan dirinya lalu pergi kemeja makan berniat untuk makan.Habis itu pergi sekolah.Itulah kebiasaan Rara setiap harinya.
            “Bu, masak apa?” Tanya Rara melihat ibunya yang masih sibuk menggoreng
            “Telor ceplok. Kamu kalau dibangunin pagi untuk sholat tak pernah mau, tapi kalau menanyakan sarapan setiap pagi tak pernah lupa..” singgung ibunya. Rara menarik kursi dan duduk disana. Sambil mencomot satu tempe dari piring dan memakannya Rara menjawab pertanyaan ibunya.
            “Aduh bu. Orang ibu banguninnya jam lima subuh. Mana bisa Rara bangun!” kilahnya.
            “Lain waktu pasti Rara bangun kok bu. Mungkin semalam Rara kecapean belajar. Jadi lama tidur dan nggak bisa bangun cepat..” sebuah suara berat muncul dari balik pintu. Ayah Rara telah berdiri disana.Masih memakai baju koko putih dan kain sarungnya.Ayah Rara baru habis mengaji dikamar. Mendengar Rara sudah berada didapuria mengakhiri mengajinya.
            Rara yang melihat ayahnya datang langsung bermuka masam.Rara tidak suka pada ayahnya.Apalagi melihat ayahnya selalu dengan tongkat kecilnya itu setiap berjalan.Ayah Rara buta sejak Rara kecil.Rara tidak pernah menyukai ayahnya. Gara-gara ayahnya buta ia jadi sering diejek oleh temannya. Rara sangat jarang berkomunikasi dengan ayahnya.Ia selalu berusaha menghindarinya. Dan pagi ini, mendengar suara ayahnya yang ikut-ikutan bicara ia langsung bad mood.
            “Bagaimana anak ayah pagi ini? Apa sudah mandi..pasti sudah kan.. tercium harum dari jauh..” ayah Rara kembali bicara. Ia meraba-raba dengan tongkatnya. Berusaha mencari bangku untuk duduk.Rara tidak menjawab pertanyaan ayahnya.Membantu ayahnya untuk duduk pun tidak.Ia hanya melihat kedepan dengan wajah dongkol.
            “Rara jawab ayahmu dong.Kamu jangan diam saja.”Ucap ibunya.Rara menggaruk-garuk kepalanya. Dalam hatinya ia ingin berkata “malas”. Tapi ia menahannya.
            “Masih lama masaknya bu?” Tanya Rara.
            “Masih.Buatkan dulu minum ayahmu baru ini mau masak” jawab ibunya dongkol melihat tingkah Rara.
            “Malas” akhirnya kata itu keluar dari mulut Rara.
            “Astagfirulloh..Membuatkan minum untuk ayahmu saja kamu malas!”
            “Buat apa? Minumku aja belum ada” jawab Rara judes.
            “Hush! Berhenti membantah Rara! Itu ayahmu! Kau sama sekali tak pernah hormat pada ayahmu!” ucap ibunya keras.
            “Siapa suruh ayah buta!Membuatkan minumnya saja tidak bisa” Rara menjawab sambil memalingkan mukanya.
            “Ya Robbi. Kamu keterlaluan Rara! Jaga kata-katamu!” ibu Rara marah.Ayah Rara hanya diam. Mencoba memaklumi sikap anaknya. Bukan sekali ini saja dia mendengar Rara protes akan kebutaannya. Tapi ia sudah sering mendengar Rara mengejeknya dan ia sudah menyabarkan dirinya untuk hal itu.
            “Sudahlah bu, masih sepagi ini jangan berkelahi. Rara.. Ayah memang buta. Tapi ayah tetap ayah kamu..” ucap ayah Rara.
            “Terserah.Aku tak peduli” ucap Rara.Ia mengambil tasnya dan bergegas pergi kesekolah. Tanpa sarapan dan tanpa pamit lagi.Ia sudah sangat jengkel.
***
            Rara berlari cepat menuju rumah sakit.Setelah gurunya memberitahukan padanya bahwa gas dirumah mereka meledak.Ibu dan ayahnya dilarikan kerumah sakit.Jantungnya berdetak tak karuan.
Ia sampai dirumah sakit dengan napas tergesa. Ia memasuki ruangan tempat ibu dan ayahnya dirawat. Kakinya lemas saat melihat ibunya diselimuti perban yang sangat banyak melilit kepala dan tubuhnya.Ayahnya tidur disamping tempat tidur ibunya.Tapi jantung Rara serasa berhenti.Karena ayahnya telah diselimuti kain putih sampai keatasnya.Hanya kepalanya saja yang nampak dengan mata yang tertutup.Ia sudah menangkap hal yang ganjil dari pemandangan ini.Ia menutup mulutnya dan terisak.
            Tiba-tiba sebuah telapak tangan menangkup dibahunya.
            “Kau harus sabar.Kau harus kuat” ucap pemilik tangan itu.Rara melihat kepadanya.
            “Apa yang terjadi pada mereka berdua dok? Mereka tak apa-apa kan?” desak Rara.Matanya berlinang.
            “Ibumu mengalami luka bakar parah. Sekitar tujuh puluh persen tubuhnya terbakar..” ucap sang dokter. Rara menggeleng-gelenggkan kepalanya.Ia sangat terkejut dengan kejadian ini.Ia lirik ibunya yang terlentang tak berdaya. Air mata mengalir membasahi kedua pipinya yang putih.Lalu matanya melirik ke ranjang disebelah ibunya. Ayahnya! Bagaimana dengan ayahnya?Rara tak bisa memungkiri hatinya yang bergejolak melihat ayahnya dibungkus kain putih seperti itu. Sebenci apapun dia pada ayahnya, tapi ia tak pernah mengharapkan ayahnya dibungkus kain putih itu. Tiba-tiba ia merasakan hatinya seperti tertusuk pisau. Melihat ayahnya dengan kondisi seperti itu.
            “Kami tak bisa menyelamatkan ayahmu..lukanya terlalu parah sehingga ia tak bisa bertahan. Kau harus ikhlas menjalani semua ini. Kuatkan dirimu nak..” dokter itu kembali berucap. Dan Rara tersentak dengan kalimatnya.
            “Ayah telah meninggal….” Rara berbisik pada dirinya.Ia lalu menjerit dan menangis histeris.Semua kelakuan buruknya pada ayahnya terlintas dibenaknya.Semua seolah diputar ulang diotaknya.Dan terakhir kali melihat ekspresi wajah ayahnya yang lembut dimeja makan tadi pagi.Rara tak sanggup berdiri.Seluruh dunia terasa mengantamnya.
***
            Hujan deras mengguyur.Sudah tiga hari setelah kematian ayah Rara.Rara sangat sedih. Ibunya baru tadi siang dibolehkan pulang kerumah  dan masih dengan banyak perban. Rara menatap kejendela kamarnya yang terbuka.Percikan air hujan mengenai wajahnya.Ia menghirup udara hujan dan berusaha menenangkan pikirannya.Ketika tiba-tiba ibunya masuk dan memanggilnya.Ia tersadar dan segera menghampiri ibunya yang dikursi roda.
            “Ibu, ada apa? Ibukan masih sakit. Kenapa ibu tidak istirahat saja..” ucap Rara. Ibunya lalu memberikan sebuah surat kecil dan Rara mengambilnya. Tanpa berkata apa-apa Rara dengan rasa penasarannya membuka surat itu.
“Untuk Rara anak ayah satu-satunya.Dulu selagi kamu masih kecil ayah sangat bahagia. Melihatmu tersenyum..tertawa ..dan kita selalu bermain-main. Bersama ibu..dan ayah kamu selalu bahagia. Tapi semua itu berakhir saat kau mengalami kecelakaan yang menyebabkanmu kehilangan penglihatanmu.Kau juga tidak mengingat apapun.Waktu itu umurmu masih dua tahun.Kau menjadi pendiam dan selalu murung.Saat itu kami sangat menderita melihat keadaanmu. Kata dokter, kamu tidak akan bisa melihat lagi seumur hidup. Ayah dan ibu sangat syok dan sedih mendapati kenyataan itu.
Lalu akhirnya ayah memutuskan untuk memberikan mata ayah padamu.Agar kamu bisa melihat kembali dan bisa tersenyum. Ayah sangat senang melihatmu tertawa kembali. Kebahagian ayah hanyalah melihatmu bahagia.
Maafkan ayah Rara yang tak pernah memberitahukan hal ini kepadamu. Ayah tak mau kau merasa terbebani dengan kenyataan ini selagi ayah masih hidup. Jadi ayah putuskan untuk tidak pernah memberitahumu.Sekarang kau sudah tahu kenyataannya.Tolong rawat dan jaga baik-baik mata ayah.Dan selalu tersenyumlah.  Ayah akan selalu mencintaimu. Tersenyumlah untuk ayah dan berjanjilah untuk selalu bahagia…”
Dari Ayah yang selalu menyayangimu..
            Rara menangis. Air hujan terus mengguyurnya.Ia berharap semua dosa yang pernah ia lakukan selama ini terhadap ayahnya dapat terbawa oleh setiap tetes hujan yang mengguyurnya…
“Tak ada orang yang lebih mencintai kita selain dari keluarga kita sendiri
Jangan sia-siakan orangtuamu. Seburuk apapun mereka..
Selagi mereka masih bernapas dan kau masih bisa melihat mereka
Bahagiakanlah mereka…”

 ^_^ this story has been the 1st winner in lomba cipta cerpen festival muharram 2013, in fisip usu, north sumatera.