This story I present to my father that have been passed away since 2009. He is a very great father and I love him forever and ever. I will meet him again one day, in paradise. Im sure, he is happy there. I miss you papa...
It success to be one of contributor in short story theme "father".
SAAT
KEHILANGAN AYAH
Langit begitu cerah saat itu, udara
juga terasa panas. Ayah datang dengan keringat di seluruh tubuhnya. Ia baru
saja selesai memperbaiki mobil kampas besar yang digunakannya sehari-hari untuk
mencari nafkah. Yah, ayah bekerja sebagai seorang salesman, yang menjual
kebutuhan-kebutuhan domestik secara grosir di kampung-kampung. Biasanya ayah
membeli barang di kota dan mendistribusikannya ke desa-desa. Dulu, ayah bekerja
dengan seorang peranakan Cina. Namun sekarang, ayah lebih mandiri. Berkat kerja
keras dan perjuangan ayah, ia bisa menjalankan usahanya sendiri dan mencukupi
kebutuhan keluarga. Ayah pun
duduk dan beristirahat di warung kecil kami. Kami punya warung kecil didepan
sekolah, seperti kantin. Karena kami sudah mulai besar, ayah menyuruh ibu
berjualan. Lagian ibu juga bosan berada di rumah seharian. Ayah lalu
menghampiri ibu dan membantu ibu melayani pembeli yang cukup banyak saat itu
hingga ibu kewalahan.
“Kenapa kau membantuku?Kau kan baru
habis bekerja, kau pasti kecapekan” tanya ibu pada ayah.
“Aku tidak ingin melihatmu
kelelahan.” kata ayah. Ibu pun tersenyum. Ibu sangat beruntung memiliki ayah.
Ayah adalah orang yang paling baik didunia ini.
Suatu malam, saat kami semua
berkumpul bersama, ayah menceritakan pada kami sebuah kisah tentang telur cicak
di kecap asin.
“Dulu, waktu ayah kecil ayah pernah
makan kecap asin yang karena sudah lamanya, telur cicak pun bersarang disana.
Keluarga ayah dulu sangat miskin, kami bahkan sering makan hanya dengan nasi
dan kecap asin. Jadi ayah tidak mau kalian merasakan apa yang ayah rasakan.
Ayah akan bekerja keras untuk kalian.” kata ayah dengan matanya yang
bersinar.Ia melihat kami satu persatu. Saat itu aku bahkan tidak tahu bahwa
sinar mata itu adalah untuk yang terakhir kalinya. Ayah memang seorang pekerja
keras. Sedari tamat Sekolah Dasar ayah tidak lagi sekolah dan memilih untuk
bekerja. Padahal, ayah anak yang pintar. Ayah juga sebenarnya dapat beasiswa
untuk masuk SMP Favorit saat itu, tapi ayah yang baik memikirkan saudaranya yang
banyak. Ia lebih memilih untuk bekerja saja demi memenuhi kebutuhan keluarga,
ia tidak ingin adik-adiknya hidup lebih menderita. Lama-kelamaan ayah menjadi
tulang punggung keluarga walaupun ia masih anak-anak. Dan itu terus berlanjut
hingga ayah dewasa dan menikah dengan ibu. Kami semua pun lahir, aku beserta
dua kakakku dan satu adik laki-lakiku yang tampan. Kami semua ada empat.
Aku masih duduk di kelas dua SMP
saat itu ketika ibuku datang ke sekolah dan menangis di kantor. Seorang guru
bahasa inggris yang dekat denganku ditugaskan untuk memanggilku ke kelas.
“Fitri ambil tasmu dan ikuti bapak
ke kantor.” katanya. Aku yang saat itu sedang gembiranya bermain dengan temanku
merasa cukup jengkel, kenapa aku disuruh pergi ke kantor. Namun, kuturuti saja
perkataan guruku dan aku mengikutinya. Aku sama sekali tidak punya firasat
buruk. Ketika aku dekat dengan kantor, sebuah suara isak dan tangis kudengar.
Hatiku mulai gaduh, siapa yang menangis? Apa yang terjadi? Aku pun mempercepat
langkahku. Kulihat ibuku sedang menangis didepan semua guru-guruku. Dan ketika
melihatku ia semakin menangis keras.
“Fitri, sekarang juga kita harus
pergi melihat ayahmu. Udakmu (dalam bahasa Mandailing artinya adik dari ayah)
menelepon dan bilang kalau ayah tidak sadarkan diri, dan ia berada di rumah
sakit Panyabungan sekarang. Kita harus pergi.” kata ibu. Aku terkejut, syock,
atau mungkin speechless. Aku tidak
bisa berkata apa-apa, tapi aku merasakan seperti sebuah petir menyambarku.
Jantungku berdebar kencang, apa yang terjadi pada ayahku? Aku melihat mata ibu
yang merah penuh air mata yang mendesak. Aku memang tidak menangis, tapi aku
bahkan tidak sadar saat ibu menarik lenganku dan kami langsung menaiki mobil
dan berangkat ke Panyabungan. Jarak dari kota kami ke rumah sakit tempat ayah
dirawat sekitar dua jam. Namun selama perjalanan, aku bahkan tidak merasakan
diriku berada di mobil, aku seperti melayang. Pikiranku entah kemana. Yang aku
ingat adalah aku terus berdoa. Melihat kedepan dengan pandangan nanar, dan
terus menerus merapal doa. Aku ingin tidak terjadi apa-apa pada ayahku. Tuhan,
jangan lakukan apapun pada ayahku.
Tiba dirumah sakit, udakku dengan
tangis dan jeritan histeris menyambut kami. Ia memeluk tubuh kami satu persatu.
“Aku akan menjadi ayah kalian. Aku
yang akan menjadi ayah kalian.” katanya. Aku semakin syock. Apa yang terjadi?
Aku bahkan belum melihat dimana ayahku. Seorang perawat lalu membimbing langkah
kami untuk menuju ke sebuah ruangan. Ruangan itu penuh bau alkohol dan bau
obat. Seseorang yang sangat kukenal terbaring disana. Dengan kedua tangannya di
lipat dan mata yang tertutup. Bibirnya kaku dan biru, dan selembar kain putih
menyelimuti seluruh tubuhnya hingga ke dada. Aku tahu itu ayahku, apa yang
mereka lakukan pada ayahku?
“Bersabarlah. Beliau sudah tidak
ada. Kalian harus tabah. Ucapkanlah kata terakhir untuknya, mungkin ia masih
bisa mendengarnya.” kata seorang dokter. Aku yang serasa tersambar petir
semakin merasa syock. Tidak. Aku tidak percaya. Ibuku menangis dan memeluk juga
mencium ayahku. Kedua kakakku pun menangis, adikku yang masih kecil hanya bisa
melongo, ia masih belum mengerti drama apa yang terjadi diruangan ini. Namun
aku? Aku tidak menangis, tidak pula memeluk dan mencium ayahku. Aku berlari ke
musholla dan segera sholat. Aku berdoa dan berharap agar semua ini hanyalah
sandiwara, semua ini tidak nyata, dan bahkan ini hanya mimpi. Ketika aku
kembali nanti aku percaya kalau ayahku akan hidup kembali, bukankah kalau kita
berdoa pada Allah maka Ia akan mengabulkannya? Aku pun kembali keruangan namun
jasad ayahku tetap berada disana. Matanya tetap tertutup dan tubuhnya semakin
dingin. Saat itu aku baru sadar, tangisku pecah, aku gemetar. Lalu tak
kurasakan apa-apa lagi. Aku seperti terhempas ke sebuah lautan yang luas, udara
seakan menguap dan aku tidak bisa bernapas. Namun ayahku, tidak pernah kembali
lagi.
Hari, bulan, dan tahun pun berlalu.
Kami menjalani hidup tanpa ayah. Tanggung jawab sebagai tulang punggung
keluarga beralih pada ibu. Namun, ibu tidak setegar yang kami inginkan. Ibu
menikah dengan seorang laki-laki di tahun ketiga jandanya. Kami tidak setuju,
namun apa boleh buat, ibu mengambil jalannya sendiri. Dan aku?
Dulu aku adalah seorang yang tidak
pernah juara dikelas. Entah kenapa, setelah kepergian ayah aku menjadi cewek
pendiam. Aku lebih suka menyendiri dan mengurung diri di kelas. Saat istirahat
aku pun tidak bergabung dengan teman-temanku. Waktuku pun kuhabiskan untuk
menyendiri, dan disela kesendirianku itu aku lebih suka belajar. Prestasiku
meningkat drastis, aku pun mendapat juara kelas. Tidak hanya itu, aku juga
mengikuti beberapa perlombaan bahasa inggris dan juga cerdas cermat. Aku sering
menjuarai lomba dan masuk ke perguruan tinggi negeri yang aku inginkan. Di
perguruan tinggi prestasiku semakin gemilang, aku bahkan menjadi Mahasiswa
Berprestasi di Fakultas, juga menjuarai debat mahasiswa, lomba cipta, cerpen,
surveyor, peraih empat kali beasiswa berturut-turut, penulis novel, penggiat
bahasa inggris, dan yang lainnya.
“Juara 1 mahasiswa berprestasi tahun
ini adalah Fitri Haryani Nasution!” suara itu menggema diruangan dan semua
orang bertepuk tangan.Aku melihat semua mata yang bersinar disana melihatku
dengan tatapan bangga. Saat itu juga aku teringat pada sinar mata ayahku. Tidak
ada yang seindah sinar ayahku. Aku berusaha menahan airmataku yang tiba-tiba
mendesak keluar. Aku melihat langit biru, dan menatap keatas. Aku percaya
dimanapun ayah berada, ia juga pasti sedang menatapku dengan sinar matanya yang
indah. Semua orang terus mengelukan namaku.
Namun dibalik semua itu, aku sering
merasa kesepian. Entah kenapa perasaan setelah kehilangan ayah tetap saja
membekas di hatiku. Sering aku menangis disela kesendirianku dan berpikir
tentang apa yang sebenarnya kuinginkan. Aku pun menggunakan waktuku untuk menulis,
jika aku merasa sepi dan sedih aku lebih baik menulis dan mencurahkan
perasaanku. Aku lebih suka berbicara dalam cerita daripada berbicara dengan
teman-temanku. Aku hanya tidak ingin orang sekitarku melihatku lemah, dan hanya
tulisanku yang tahu selemah apa diriku. Mungkin orang-orang diluar sana melihat
aku sebagai perempuan pejuang, perempuan pintar dengan bakatnya yang
mengagumkan. Tapi, di sisi yang berbeda, aku hanyalah perempuan lemah yang
merasa kesepian. Perasaan ini terus berlanjut saat setelah kehilangan ayah. Aku
belajar suatu hal.
“Orang
datang dan pergi tanpa bisa diperkirakan. Pertemuan selalu berakhir dengan
perpisahan. Aku bahkan takut untuk jatuh cinta, karena aku tak cukup kuat untuk
menahan sakit yang kurasakan setelah cinta itu pergi. Kapan semua ini akan
berakhir? Kapan seseorang itu tidak lagi meninggalkanmu? Aku sadar, orang akan
terus datang dan pergi dalam kehidupan yang fana ini. Hingga kau sendiri yang
pergi selamanya meninggalkan mereka. Dan saat itu kau tidak akan tersakiti, tapi
merekalah yang akan menangis karenamu.”
Aku mencintaimu selalu ayah. Aku
berjanji akan melakukan yang terbaik dalam hidupku. Dan suatu hari nanti,
ketika aku sudah lelah dengan orang-orang yang selalu meninggalkanku seperti
dirimu, maka aku akan meninggalkan mereka. Dan berharap bisa kembali bersamamu.